Selasa, 22 Juni 2010 - 08:43:29 WIB
Jakarta(Pinmas)--Para tokoh agama dalam kongres ke tiga di Jakarta,
5-11 Juni 2010, mengeluarkan pernyataan perlunya dilakukan revolusi
mental, berupa perubahan mendasar atas pranata, lembaga, dan kebijakan
publik.
Pernyataan tersebut dikeluarkan, Jumat (11/6) siang, setelah
melakukan pembicaraan secara mendalam mengenai perkembangan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang terjadi dewasa ini.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Abdul Fatah mengatakan
berbagai perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dewasa
ini yang meliputi aspek politik dan hukum, ekonomi, pendidikan dan
kebudayaan menunjukkan adanya kontradiksi yang memprihatinkan.
"Sebagai akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai ternyata disertai
penggerusan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia," katanya.
Abdul Fatah mengatakan, kondisi ini tidak boleh dibiarkan tanpa
adanya suatu upaya sadar untuk mengembalikan nilai-nilai luhur sebagai
pendorong tercapainya kemajuan dalam setiap segi kehidupan.
"Kami tokoh-tokoh agama memiliki tanggungjawab untuk terjadinya
langkah-langkah yang nyata agar proses penggerusan itu berhenti dengan
menjadikan agama menjadi sumber moralitas, etik, dan spiritualitas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," katanya.
Para tokoh agama berpandangan suatu bangsa yang kehilangan pijakan
moral, etik, dan spiritual sesungguhnya menjadi masyarakat yang rapuh
dan akan mengalami disorientasi, katanya.
Abdul Fatah juga menyebutkan bahwa di bidang politik ada kemajuan
pada kehidupan demokrasi dengan diakuinya Indonesia sebagai negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia, bertumbuhkembangnya kebebasan dan
kesadaran politik masyarakat.
Namun demikian, bersamaan dengan itu telah terjadi praktek
berdemokrasi dan penggunaan kebebasan (termasuk kebebasan pers) yang
mengabaikan etika, tatakrama, dan tujuan berdemokrasi.
Kondisi demikian pada hakikatnya merupakan pengkhianatan terhadap
nilai-nilai demokrasi yang dikhawatirkan dapat menghilangkan
kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Prihatin
Di bidang hukum, pihaknya merasa prihatin karena hukum tidak lagi
diabdikan bagi tegaknya kebenaran dan keadilan, tetapi lebih menghamba
kepada kekuasaan, kekayaan dan kepentingan-kepentingan sempit, katanya.
Karena itu proses penegakan hukum tidak memberi harapan bagi rakyat
yang lemah dan miskin, tambahnya.
Ia juga menjelaskan di bidang ekonomi adanya kemajuan-kemajuan
khususnya di bidang ekonomi makro. Walaupun demikian ia mencatat masih
adanya kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih didasarkan pada
kekuatan pasar dan modal.
"Hal ini mengakibatkan praktek ekonomi monopolistik, menguatnya
perselingkuhan kepentingan ekonomi dan politik, serta penumpukan
kekayaan pada sekelompok orang tertentu," katanya.
Pada saat yang sama, pihaknya mencatat masih adanya kesulitan bagi
tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat akibat kesulitan akses untuk
mendapatkan fasilitas, khususnya perbankan, pemasaran, dan sarana
peningkatan kapasitas.
Demikian pula di bidang pendidikan dan kebudayaan, adanya
pembangunan fasilitas pendidikan secara masif, penyediaan sarana
prasarana pendidikan dan keikutsertaan masyarakat yang luas di dalam
proses pendidikan bangsa, katanya.
Walaupun demikian para tokoh agama melihat masih terdapat persoalan
yang sangat serius oleh karena pendidikan belum berhasil menanamkan
karakter anak bangsa, katanya.
"Pendidikan telah mengabaikan budi pekerti yang memberi dasar bagi
pertumbuhan peserta didik menjadi manusia yang memiliki karakter dan
kemandirian," tambahnya.
Orientasi pendidikan mengejar kelulusan formal semata, belum pada
penguasaan kompetensi dan pemecahan masalah, kata Fatah.
Materialisme
Pada saat yang sama, para tokoh agama mencatat berkembangnya kebudayaan
yang lebih berorientasi kepada materialisme dan sekularisme dalam
hampir semua aspek kehidupan. Pada saat yang sama, aspek spiritualisme
dan akal sehat dilupakan.
Akibatnya, kehidupan pemimpin dan masyarakat kehilangan kedalaman
makna, kemuliaan akhlak, kepedulian kepada sesama, serta kepekaan
nurani, yang mengakibatkan perilaku munafik, kolutif, dekaden, dan
koruptif, kata Fatah.
Untuk itu, menyikapi hal-hal tersebut, para tokoh agama menyerukan
perlunya dilakukan revolusi mental, berupa perubahan mendasar atas
pranata, lembaga, dan kebijakan publik yang berlandaskan kepatutan
etika, moral, dan akal sehat dengan mengimplementasikan nilai-nilai
agama dalam perilaku sehari-hari.
"Diserukan kepada seluruh komponen masyarakat, terutama para
pemimpinnya, segera melakukan langkah nyata untuk terus-menerus
menegakkan kedaulatan moral sebagai ruh dari kedaulatan rakyat," kata
Abdul Fatah.(ant/es)
Agustus, 2010 | ||||||
M | S | S | R | K | J | S |
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 |
8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 |
15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 |
22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 |
29 | 30 | 31 |
Pengunjung hari ini : 15
Total pengunjung : 558
Hits hari ini : 88
Total Hits : 4269
Pengunjung Online: 1